Biografi Maulana Jalaluddin Rumi



Maulana Jalaluddin Rumi, memiliki nama asli Jalaluddin Muhammad al- Rumi. Beliau dilahirkan di Balkha (sebuah wilayah yang berada di daerah Afghanistan) pada tanggal 06
Rabi‟ul Awal tahun 604 H atau 30 september 1207 M.[1]  Balkha sendiri adalah sebuah wilayah yang sekarang masuk pada daerah Afghanistan bagian utara yang pada saat itu termasuk kedalam kerajaan Khawarizm, Persia Utara. Balkhi pada saat itu adalah sebuah  wilayah atau kota yang menjadi pusat kajian kebudayaan, praktik dan tempat dimana kecintaan pada mistisisme Islam tumbuh dengan pesat.[2]

Maulana yang memiliki arti kata Tuanku adalah sebuah  kata yang senada maknanya dengan bahasa Persia, yaitu Khawaja, yang berarti sebuah penghargaan maknawi dan sosial
Kata Maulana senidri adalah terjemahan dari bahasa Persia Khudawanda kar, yang mana julukan ini pertama kali diberikan oleh ayahandanya. Jika dalam literatur Persia modern, ia dikenal dengan sebutan Mevlevi.  Maulana Jalaluddin Rumi berkembang ditengah pusat kebudayaan Persia. Balkh sendiri merupakan produk kebudayaan Islam Persia yang pada abad ke-7 hingga 13 mendominasi seluruh bagian Timur wilayah Islam yang kini dikenal sebagai Persia ( Iraq dan Iran ) beserta Turki, Afghanistan, Asia Tengah dan Anak benua Indo-Pakistan sebagai pewarisnya.

Nama ayah beliau adalah Muhammad yang memiliki nama asli Bahauddin Muhammad, akan tetapi beliau memiliki nama lain yang lebih masyhur yaitu Baha‟ Walad dan nama ibu beliau adalah Mu‟mine Khatun.  Bahauddin Muhammad adalah orang yang dikenal sangat masyhur karena menguasai bidang ilmu fiqih, mufti sekaligus salah satu guru tarekat yang mempunyai nama al- Kubrawiyah ( pengikut Najmudin alKubra) dan di angkat juga sebagai Sultanul Ulama‟ ( rajanya para orang alim ).

 Bahauddin Muhammad dikenal sebagai seorang guru yang berkharisma, baik dimata kaum agamawan ataupun orang-orang awam. Tidak mengherankan jika setiap fatwa dan produk hukum yang dibuatnya banyak orang yang senantiasa mendengarkan dan meminta nasihatnya sehingga banyak orang yang respek terhadapnya. Namun, justru hal ini pula yang membuat sebagian orang iri terhadapnya. Sehingga tak sedikit pula orang yang memfitnah, membenci dan menjelek-jelekkannya. Bukannya orang-orang semakin membencinya justru malah sebaliknya, orang-orang tetap bahkan bertambah kekagumannya serta menjadikan fatwanya
sebagai produk hukum dan semakin  menghormatinya. Itulah sebabnya penguasa pada saat tersebut mengisyaratkannya agar sesegera mungkin ayahanda Rumi ini untuk pindah atau hijrah.  Rumi lahir dari kalangan latar belakang keluarga yang sangat terhormat. Dari segi nasab melalui jalur ayahnya, garis keturunan Maulana Jalaluddin Rumi bersambung sampai pada Abu Bakar al- Shiddiq. Sedangkan dari jalur ibu sampai pada Ali bin Abi Thalib, namun ada juga yang hanya menyebutkan bersambung pada raja-raja Khawarizmi.
 Setelah memutuskan pindah selain karena faktor desakan dari penguasa pada saat itu, faktor lain yang menyebabkan Rumi kecil yang saat itu berusia 12 tahun harus pindah beserta keluarganya adalah faktor sosial politik yang sedang tidak stabil.[3]  Di Khurasan pun Rumi beserta keluarganya tidak menetap, ia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dan di setiap tempat yang ia singgahi beserta keluarganya selalu mendapatkan sambutan hangat dari orang-orang di sekitarnya.  Hingga pada suatu saat sekitar tahun 626 H/ 1229 M ia beserta keluarganya memutuskan untuk menetap di suatu daerah yaitu Kauniyah. Hijrahnya ke tempat ini adalah ajakan dari salah seorang penguasa Rum yang sangat hormat kepada ayahandanya, yaitu Alauddin Kaiqibad.  Disinilah Rumi kehilangan ayahnya. Ayahandanya wafat pada tanggal 18 Rabi‟ul Awal 628 H/1231 M. Dengan demikian secara otomatis, Rumi menggantikan ayahandanya untuk mengajar di sebuah sekolah yang dibuatkan oleh penguasa yang bernama Badruddin Kahartasy. Nama sekolah tersebut adalah  “ Sekolah Khadawandakar “ dan ditunjuk sebagai direktur atau kepala sekolah. [4]

Maulana Jalaluddin Rumi sendiri tercatat sebagai seorang  pribadi yang rajin, tekun, sederhana,  pintar, alim dan sholeh. Bahkan ada sebuah kesaksian dari salah seorang yang pernah berkawan dengan Rumi selama beberapa tahun yaitu Sabah Salar mengatakan bahwasanya ia tidak pernah melihat Rumi mengenakan baju tidur layaknya orang yang kaya dan terhormat yang cukup harta, mempunyai kasur atau alas tidur yang nyaman bahkan jika rasa kantuk menyerangnya ia bisa saja tidur dalam keadaan terduduk. Tidak seperti seorang yang bergelar seperti sekarang ini yang terkesan selalu ingin menampilkan kemewahan yang terkadang justru membuat orang di sekitarnya justru malah segan dan enggan bergaul karena perbedaan pangkat dan derajat yang dimilik.[5]

Pelajaran pertama dalam hidupnya pertama kali ia peroleh langsung dari ayahandanya, Bahauddin Muhammad atau Baha‟ Walad. Selain dari ayahnya ada beberapa orang yang sangat berpengaruh pada kehidupan Rumi, yakni Sayyid Burhanuddin, Muhaqqiq al- Tirmidzi, Shalahuddin Fardu Zarkub ( yang sekaligus sahabatnya sendiri ), Hasamuddin Khalabi dan Syamsuddin al-Tibrizy. Nama terakhir tersebut adalah guru yang paling berpengaruh pada di Rumi, bahkan sampai melahirkan sebuah karya yang di beri judul ” Diwani Syams-e Tabriz “( Lirik-lirik Syamsuddin al-Tabriz ), kitab ini digubah sebagai bentuk penghargaan dan kekaguman pada sosok Syamsuddin al-Tabriz yang menjadi sahabat sekaligus gurunya.[6]






[1] Penjelasan ini ada pada kata pengantar penerjemah buku Fihi Ma Fihi yang ditulis oleh Muhammad Iqbal. Lihat Jalaluddin Rumi, Fihi Ma Fihi: Mengarungi Samudera Kebijaksanaan , hlm. 4
[2] Jalaluddin Rumi terj. Anwar Kholid, Yang Mengenal Dirinya yang Mengenal Tuhannya: Aforisme-Aforisme Sufistik ( Bandung:Pustaka Hidayah, 2000), hlm. 9.
[3] Hal lain yang menyebabkan Rumi kecil dan ayahnya harus pindah adalah karena adanya serbuan dari bangsa Mongol yang mempersempiit ruang gerak ayah Rumi di Khurasan. Lihat Jalaluddin Rumi, terj.Muhammad Iqbal, Fihi Ma Fihi. hlm. 5
[4] Abul Hasan an-Nadwi, terj.M.Adib Bisri, Jalaluddin Rumi; Sufi Penyair Terbesar. hlm. 2 – 3.
[5] Ibid. hlm. 9.
[6] Keterangan ini dapat dilihat dibanyak buku dan jurnal, diantaranya di Jurnal Pendidkan Didaktika karya M. Amir Langko dengan judul “ Nilai Pendidikan Tauhid dalam Sya‟ir Cinta Jalaluddin Rumi “ hlm.20 , di buku
Fihi Ma Fihi “ hlm. 8 dan di buku yang berjudul “ Jalaluddin Rumi: Sufi Penyair Terbesar “ hlm. 4 – 9.

No comments:

Post a Comment